Rabu, 20 Desember 2006
NASIONAL
BIDANG PENDIDIKAN
Salah Konsep Mengaburkan Pemetaan Pendidikan
Tahun 2006, dunia pendidikan dihebohkan oleh penyelenggaraan Ujian Nasional. Setelah muncul sejumlah kasus, ujian ini digugat banyak pihak. Kelemahan konsep dan teknis sistem ujian ini dipertanyakan, apakah mampu memetakan kondisi pendidikan kita? Berikut ulasannya.
JANGAN pernah sepelekan peta. Anak-anak penggemar acara televisi Dora The Explorer selalu diajarkan membaca ''peta, peta, peta'' ketika ingin mencari atau menemukan sesuatu secara tepat.
Kita pun, ketika akan mengetahui bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia, peta pendidikan juga menjadi kunci. Lantas bagaimana memetakannya. Nah, inilah isu paling heboh di tahun 2006, yakni kisruh Ujian Negara (UN). Sebelumnya ujian ini aman-aman saja. Eh, tahun ini justru bikin ribut hingga ke DPR.
Konon 80% dari anak yang tidak lulus dan melapor ke Komnas Perlindungan Anak adalah anak jenius. Heboh kan? Ada lagi sejumlah siswa harus gigit jari karena terpaksa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena tidak lulus UN, walau sudah diterima lewat jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK).
Peserta olimpiade fisika ternyata juga tidak lulus UN karena nilai mata pelajaran Matematika di bawah standar minimum kelulusan, 4,25. Eh, jangan-jangan materi ujiannya bukan hitung-menghitung melainkan sejarah Matematika. Pantas aja nggak lulus. Canda lo. Tapi ada juga yang lucu. Guru memberi bocoran jawaban ke siswa-siswanya. Tapi bocoran jawaban itu ternyata untuk mata pelajaran yang lain. Wah kapusan ki, akhirnya salah semua.
Pakar pendidikan Prof Dr H Mungin Eddy Wibowo MPd Kon mengatakan permasalahan seputar dunia pendidikan tak lepas dari pelaksanaan Ujian Nasional. Kendati standar kelulusan naik, angka kelulusannya juga menunjukkan adanya kenaikan. Menurut anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) itu, standar kelulusan untuk nilai rata-rata naik dari 4,25 pada tahun ajaran 2004-2005 menjadi 4,5 tahun 2005-2006.
Namun, kebijakan Ujian Nasional ini dinilai kontraproduktif bagi pendidikan nasional, karena memiliki kelemahan konsep dan teknis. Akibatnya, tujuan tidak tercapai yakni mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional, dan berdampak buruk bagi guru dan siswa.
Kreativitas siswa terkungkung, karena mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, kreatif, dan mandiri serta dapat mengatasi semua persoalan hidupnya.
Kreativitas siswa terkungkung, karena mereka dipaksa mengalokasikan porsi belajar lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, kreatif, dan mandiri serta dapat mengatasi semua persoalan hidupnya.
Perhatian pemerintah pada pendidikan dinilainya semakin membaik, antara lain ditandai dengan meningkatnya alokasi anggaran pendidikan pada APBN, APBD Provinsi, dan APBD kabupaten/kota. Walaupun, amanat UUD 1945 hasil amandemen tentang anggaran pendidikan 20% belum bisa sepenuhnya direalisasikan.
''Untuk Provinsi Jateng, misalnya, dari tahun ke tahun semakin banyak kucuran perhatian untuk pendidikan. Kita patut berharap, pada 2007 nanti, situasinya akan berkembang lebih baik lagi,'' ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng tersebut.
''Untuk Provinsi Jateng, misalnya, dari tahun ke tahun semakin banyak kucuran perhatian untuk pendidikan. Kita patut berharap, pada 2007 nanti, situasinya akan berkembang lebih baik lagi,'' ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng tersebut.
Banyak persoalan yang membelit dunia pendidikan. Mulai dari persoalan sarana/prasarana, kualitas dan tingkat kesejahteraan guru, buku pelajaran, prokontra UN sebagai standar kualitas, hingga pemberlakuan Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) yang belum sepenuhnya dipahami oleh guru dan pengelola sekolah. ''Persoalan-persoalan itu, ke depan harus diurai dan dituntaskan satu per satu, jika ingin pendidikan di Indonesia berjalan lebih baik lagi,'' kata dia.
Kejutan UN
Kejutan UN
UN tahun 2006 memberi paling tidak dua kejutan. Pertama angka kelulusan melonjak luar biasa. "Kenaikan cukup tinggi terjadi pada SMK,'' kata Mungin. Pada 2006 tingkat SMK mengalami kenaikan angka kelulusan dari 78,29% menjadi 91 %, SMA naik sekitar 1,74% dari angka kelulusan tahun 2004-2005 sebesar 80,76% menjadi 92,50%. "Untuk MA juga naik dari 80,37% menjadi 90,82%,'' kata dia.
Kenaikan tak hanya terjadi di tingkat SMA atau yang sederajat tapi juga SMP dan MTs. Pembantu rektor I Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu juga menjelaskan tingkat SMP terjadi kenaikan angka kelulusan dari 87,03% menjadi 91,81%. Untuk MTs juga mengalami kenaikan dari 87,21% menjadi 92,89%. "Secara keseluruhan kenaikan yang terjadi untuk tingkat SMP dan MTs sekitar 4,96% dari 87,07% menjadi 92,03%,'' jelasnya.
Kejutan kedua pengakuan guru dan siswa dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional, bahkan secara sistematik. Mengapa angka kelulusan bisa melonjak? Keduanya diduga berhubungan.
Pertama menjelaskan hasil, dan kedua menjelaskan proses. Peningkatan angka kelulusan yang membuat bangga pemerintah itu ternyata didapat dari proses manipulatif, kecurangan guru dan siswa. Nah, lantas apakah UN bisa menjadi indikator peningkatan mutu pendidikan nasional?
Prof Mungin mengakui, meski terjadi kenaikan angka kelulusan, berbagai persoalan sedikit meninggalkan noda hitam selama pelaksanaannya. Di beberapa daerah masih ditemukan adanya kecurangan. Masih terjadinya kecurangan menunjukkan lemahnya managemen pelaksanaan UN di daerah.
Pertama menjelaskan hasil, dan kedua menjelaskan proses. Peningkatan angka kelulusan yang membuat bangga pemerintah itu ternyata didapat dari proses manipulatif, kecurangan guru dan siswa. Nah, lantas apakah UN bisa menjadi indikator peningkatan mutu pendidikan nasional?
Prof Mungin mengakui, meski terjadi kenaikan angka kelulusan, berbagai persoalan sedikit meninggalkan noda hitam selama pelaksanaannya. Di beberapa daerah masih ditemukan adanya kecurangan. Masih terjadinya kecurangan menunjukkan lemahnya managemen pelaksanaan UN di daerah.
Meski BSNP bekerja sama dengan berbagai pihak, namun mereka tidak menjalankan prosedur. "Unsur independen belum bekerja secara maksimal. Anggota harusnya mahasiswa tingkat akhir, namun beberapa perguruan tinggi justru merekomendasikan mahasiswa pada di tingkat awal.''
"Tahun depan BSNP akan melibatkan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan akan diberlakukan adanya sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran, bukan hanya pada peserta UN melainkan pada petugas yang melanggar. "Sanksi tersebut akan diberlakukan secara tegas,'' kata Mungin.
"Tahun depan BSNP akan melibatkan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan akan diberlakukan adanya sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran, bukan hanya pada peserta UN melainkan pada petugas yang melanggar. "Sanksi tersebut akan diberlakukan secara tegas,'' kata Mungin.
Salah Konsep
"Ujian Nasional tahun 2007 akan tetap ada. Saya kira akan ada perubahan kriteria kelulusan. Biasanya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengubah kriteria kelulusan setiap tahun," kata Mendiknas Bambang Sudibyo sebelum rapat kerja dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (4/10/2006).
Kendati terjadi pro kontra, UN tahun 2007 tetap ada. Berdasarkan sejarah, penilaian pada akhir jenjang pendidikan selalu dilakukan dengan ujian akhir, baik bersifat nasional atau lokal. Dari hasil ujian iu siswa ditentukan bisa lulus atau tidak, bahkan bisa melanjutkan atau tidak.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 21 disebutkan, evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 ayat 21 disebutkan, evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Apakah hasil UN ini selain untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional, masih bermanfaat bagi masyarakat.
Andaikata pengendalian mutu pendidikan dijadikan alasan utama dalam penyelenggaraan ujian bagaimana pengendalian mutu untuk pendidikan dasar terutama di SD/MI, dan jenjang pendidikan tinggi. Padahal saat ini sudah tidak ada lagi ujian nasional di kedua tingkat itu.
Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Mohammad Ali, dalam keterangan persnya usai menemui Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan penyelenggara ujian yakni Badan Standar Nasional Pendidikan bermasalah secara konsep.
Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Mohammad Ali, dalam keterangan persnya usai menemui Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengatakan penyelenggara ujian yakni Badan Standar Nasional Pendidikan bermasalah secara konsep.
Pertama, badan tersebut sebagai lembaga pembuat standar kelulusan seharusnya tetap independent dan tidak boleh menjadi lembaga penyelenggara ujian. Kedua, badan itu belum merampungkan standar kompetensi lulusan yang seharusnya dijadikan acuan ujian nasional. Ketiga, karena standar kompetensi belum ada bagaimana validitas ukuran kelulusan dalam ujian nasional. Dan keempat jumlah mata pelajaran yang diujikan misalnya untuk tingkat SD adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA. "Apakah hanya ini yang perlu dikuasai oleh siswa?" tanya dia.
Apakah tepat menjadikan UN sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa hanya dengan menguji tiga mata pelajaran, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Jika siswa bisa mencapai nilai minimal untuk ketiga pelajaran yang diujikan tersebut, maka berarti siswa lulus.
Jika UN hanya menguji tiga pelajaran dalam waktu beberapa jam, lalu bisa dengan mudah diputuskan lulus tak lulusnya seorang siswa, rasanya kurang bijaksana.Tapi simak juga seloroh ini ''Kalau ujian tiga mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi, jangan-jangan semakin tidak lulus?''
Jika UN hanya menguji tiga pelajaran dalam waktu beberapa jam, lalu bisa dengan mudah diputuskan lulus tak lulusnya seorang siswa, rasanya kurang bijaksana.Tapi simak juga seloroh ini ''Kalau ujian tiga mata pelajaran saja tidak lulus, kalau ditambah lagi, jangan-jangan semakin tidak lulus?''
Bagaimanapun dalam proses belajar tentu ada evaluasi. Jika tidak ada evaluasi, bagaimana mengukur keberhasilan proses itu. Dari hasil evaluasi, bisa diambil kebijakan untuk memperbaiki kekurangan atau menyempurnakan.
Namun ingat, dalam pendidikan evaluasi pendidikan bukanlah sebuah kalkulasi rumus matematika kaku. Ada aspek yang tak begitu saja dikonversi ke dalam angka-angka. Ujian nasional sebenarnya bukan satu-satunya alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, masih banyak faktor yang memengaruhi prestasi siswa dalam bidang pendidikan termasuk seni, olahraga, budaya dan sebagainya. (Achiar M Permana, Roosalina, Murdiyat Moko-41)
Namun ingat, dalam pendidikan evaluasi pendidikan bukanlah sebuah kalkulasi rumus matematika kaku. Ada aspek yang tak begitu saja dikonversi ke dalam angka-angka. Ujian nasional sebenarnya bukan satu-satunya alat untuk meningkatkan mutu pendidikan, masih banyak faktor yang memengaruhi prestasi siswa dalam bidang pendidikan termasuk seni, olahraga, budaya dan sebagainya. (Achiar M Permana, Roosalina, Murdiyat Moko-41)
No comments:
Post a Comment