About Me

My photo
Hidup ku adalah melakukan segalanya untuk kebermanfaatan Hidup ku adalah selalu bersyukur atas segala nikmat Allah. Hidupku adalah menjalankan segalanya dengan penuh rasa tanggung jawab dan kelapangan hati dan fikiran Hidupku adalah nikmat yang harus selalu meminta keberkahan sang Pencipta. " Menjadi apa yang kita mau akan terasa mudah jika kita meyakini dan mensyukuri"

Friday, May 15, 2009

Antara Harapan dan Kenyataan

UN : Antara Harapan dan Kenyataan
Posted by Novi Reandy Sasmita at Tuesday, July 29, 2008

Keunggulan dan Kelemahan UN

Ada beberapa faktor keunggulan yang menjadi harapan, mengapa UN tetap dilakukan walaupun banyaknya protes keras dari masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah 1) Sebagai alat penjamin mutu pendidikan baik dari sekolah atau dinas pendidikan di suatu daerah. Hasil evaluasi tersebut dipergunakan sebagai bahan rekomendasi terhadap Depdiknas dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dari hasil tersebut diperoleh peringkat kedudukan satu sekolah dengan sekolah yang lain, akibatnya secara moral tetap terikat komitmen pada standar baku yang dibuat oleh pemerintah pusat, dan kekhawatiran terjadi rentan mutu sekolah yang satu dengan yang lainnya dapat dihindari. 2) Sebagai pengendali mutu pendidikan “quality control” yang bermuara pada pengembangan sumber daya manusia di Indonesia. 3) Sebagai sarana untuk memunculkan dan memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa maupun guru. 4) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan tamat belajar dan predikat prestasi siswa. 5) Sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang yang lebih tinggi. 6) Sebagai alat evaluasi independen yang lebih objektif dibandingkan alat pengukuran lokal, dan 7) Sebagai sarana untuk memberikan motivasi pada guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga guru lebih tertantang untuk maju serta lebih bertanggung jawab dan profesional dalam mengantarkan keberhasilan siswa.Kemudian, juga terdapat kelemahan UN yang sangat mendasar sehingga UN tidak dapat dijadikan sebagai alat akselerasi mutu pendidikan di Indonesia. Kelemahan tersebut adalah1) Sistematika penyelenggaraan UN tidak sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa “evaluasi hasil peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”, Oleh karena itu yang mengevaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik, bukan DEPDIKNAS ataupun BSNP. Karena tugas Depdiknas adalah mencari, mengelola, menguji dan meluluskan siswa. Kemudian, bila Depdiknas juga dijadikan sebagai penyelenggara UN, maka kemungkinan kelulusan akan 100 %, karena kepentingan Depdiknas adalah untuk meluluskan. Tentunya, kemungkinan akan diluluskan semua, hal ini bertentangan dengan hasil sidang komisi II Rakornas Revitalisasi pendidikan yaitu empat sifat UN, post, achievement, examination dan determinant. Begitu pula BSNP tugas pokoknya yaitu pengembang, pemantau dan pengendali standar mutu pendidikan. Bila dilihat BSNP pasti juga berkepentingan untuk meluluskan semua siswanya, karena BNSP juga mempunyai tanggung jawab atas keberhasilan pendidikan yang dinilai melalui evaluasi UN. Sebenarnya, pada pasal 58 ayat (1) menjelaskan kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangatlah penting, karena guru yang melihat, mendidik, membina mental dan intelektual anak didik, singkatnya gurulah yang lebih tahu tentang potensi-potensi peserta didiknya.
Selain itu juga Pasal 35 ayat (1) menyebutkan bahwa “standar pendidikan nasional terdiri atas standar isi, proses, kompetisi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Pasal 35 ayat (1) ini menjelaskan “kompetisi kelulusan” merupakan kualifikasi kemampuan kelulusan yang mencakup pengetahuan (kognitif). sikap (efektif) dan keterampilan (psikomotoris), tetapi pada kenyataannya evaluasi pada jenjang pendidikan UN hanya menilai pada satu aspek yaitu pengetahuan (kognitif), seharusnya secara simultan ketiga kompeten tersebut harus dievaluasi pada seorang siswa. Selanjutnya, jelaslah bahwa kompetensi siswa tidak bisa ditentukan oleh aspek sikap (Kognitf) saja dalam menentukan kelulusan seorang siswa.
2) Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa “kurikulum pendidikan dasar menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan kejuruan dan muatan lokal”. Kata “wajib” merupakan suatu bentuk yang wajib dilaksanakan dan diajarkan pada siswa, konsekuensinya materi tersebut menjadi indikator sebuah kelulusan siswa, kenyataannya pemerintah hanya menguji siswa pada enam bidang studi yang dijadikan indikator kelulusan peserta didik secara nasional.
Dari paparan diatas, jelas bahwa UN yang telah dilakukan oleh Depdiknas dengan pengontrol BSNP telah bertentangan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pada pasal 58 ayat (1) tentang siapa sebenarnya yang berhak mengevaluasi siswa, kemudian pasal 35 ayat (1) tentang kualifikasi kompetensi kelulusan, selanjutnya pasal 37 ayat (1) yang menjelaskan tentang materi-materi yang sebenarnya wajib dievaluasikan sebagai kelulusan seorang siswa.
3) UN saat ini hanya diprioritaskan untuk mendapatkan ijazah bukan mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemandirian, kecakapan dan keterampilan siswa dalam kehidupan sehari-hari, singkatnya sekolah saat ini bukan menjadi sebagai lembaga pendidikan tetapi tempat bimbingan belajar untuk bisa lulus dari sebuah tes. Secara manajeman memang benar bahwa seseorang yang tidak ikut ujian nasional tidak akan mendapatkan izajah akan tetapi ada nilai mental yang terkandung dalam pemaknaan sebuah izajah. Kemudian, UN akan membatasi siswa dalam satu bidang tertentu dan juga akan membatasi keinginan yang ada pada diri siswa, sehingga siswa tidak kreatif dan juga siswa sulit untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan potensi fitrahnya.
4) UN bukanlah alat pengukuran kemampuan siswa, melainkan alat untuk mengukur keberuntungan siswa dalam mengisi lembar jawaban. Soal dengan model pilihan ganda “multiple choice” tidak memberikan kesempatan berfikir kreatif pada siswa karena jawabannya sudah tersedia. Selain itu, sangat tidak rasional mengukur kemampuan siswa hanya berlangsung dalam waktu dua jam dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari siswa, dan saat itu juga semua siswa di seluruh Indonesia sedang diuji dengan materi yang sama, padahal kemampuan siswa berbeda.
5) UN dengan evaluasi enam disiplin pelajaran ditambah lagi dengan nilai standar ketuntasan yang cukup tinggi membuat sebahagian siswa trauma akan UN.
6) UN dengan sistem passing grade yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan disparitas kondisi masing-masing daerah. Tentu saja siswa yang belajar di Jakarta dengan sarana dan kondisi fasilitas yang lengkap, akan mampu mencapai prestasi belajar yang maksimal dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di daerah konfik dan jauh dari modernisasi seperti Aceh, Ambon, Irian Jaya, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya. Apabila sistem ini terus berlanjut, ketimpangan yang terjadi antara kaya-miskin, pusat-daerah, desa-kota akan semakin nyata teraplikasikan. Pendidikan tetap saja menjadi sebuah hal yang utopis bagi sebagian kecil rakyat Indonesia yang tidak mampu sehingga mereka terus saja termajinasisasikan. Sebenarnya, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

No comments:

Post a Comment

Swety_Honey_Bee.. Winnie..

Swety_Honey_Bee.. Winnie..

WINNIE



Get your myspace layouts where I get them, at pYzam.com.
MySpaceLayouts

Pembicara di PLMJ Kampus..

Pembicara di PLMJ Kampus..