Upaya Menerapkan KBK, Belajar dari Kurikulum yang GagalBy smadua
Monday, September 17, 2007 18:05:38
Meski merupakan hasil penyempurnaan kurikulum sebelumnya, KBK dinilai sesuai dengan tujuan membangun seluruh dimensi kebutuhan manusia. Sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan kurikulum tahun 1994 dapat dikatakan gagal. Hal ini disebabkan lingkungan belajar yang tidak kondusif. Lebih dari itu, sistem tersebut tidak sesuai dengan konsep Developmentally Appropriante Practices (DAP), yaitu suatu teori-teori tentang perkembangan anak.
Adalah Ratna Megawangi, PhD yang mengungkapkan kegagalan tersebut dalam sebuah diskusi di Bandung, beberapa waktu lalu. Diskusi yang diadakan oleh Simpul Pendidikan dengan tema Pro Kontra Kurikulum 2004: Adakah Peluang bagi Pembelajaran Holistik? itu dihadiri wakil-wakil dari sekolah anggota simpul pendidikan serta para mahasiswa yang peduli pada perkembangan pendidikan. Ratna menuturkan, sistem yang salah tersebut dapat mematikan semangat belajar para siswa sehingga mereka merasa bosan dalam kelas. Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF) ini mencontohkan, sejak kelas 1 SD sampai tingkat SMA, bahkan ada yang sampai Universitas, para siswa dipaksa duduk diam mendengarkan guru, mencatat, tanpa dialog interaktif antara guru dan murid. Apalagi sejenis multilog yaitu dialog antar guru-siswa, siswa-siswa, siswa dengan dirinya sendiri untuk merenungkan dan merefleksikan mata pelajaran. Selain itu siswa juga disuruh menghafal mata pelajaran yang abstrak. ''Tidak heran kalau generasi yang dihasilkan adalah generasi yang tidak kritis, seperti robot,'' katanya.
Dia menilai, kurikulum itu terlalu berat, sehingga hanya bisa diikuti oleh sekitar 15 persen siswa terpandai saja. Adanya sistem ranking di SD, kata dia, juga membuat anak-anak merasa minder. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan mental anak tersebut. Berbeda dengan di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang, anak-anak sekolah tidak diberi nilai apa pun sampai mereka duduk di kelas tiga. Penerapan kurikulum tersebut, menurut dia, mungkin menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka putus sekolah. Mengutip data Bappenas, dari 15 juta anak sekolah yang masuk kelas 1 SD, hanya separuhnya yang mencapai kelas 6 SD. Selain itu, Ratna menambahkan, kegagalan sistem pendidikan kita karena tidak sesuai dengan konsep pendidikan holistik, yaitu konsep yang melibatkan dan mengembangkan seluruh aspek potensi manusia secara holistik.
Dengan kata lain, proses pendidikan harus mampu membentuk manusia secara utuh yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah. Juga mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan.
Berbeda dengan Ratna, Kepala Bidang Moral, Agama, dan Ilmu-ilmu Sosial Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas, Dr Hermana Somantrie MA melihat, kesalahan pendidikan bukan hanya pada sistem kurikulum yang dipakai. Ada faktor lain, yakni kualitas guru yang ada. ''Selama guru belum kompeten, kurikulum manapun yang digunakan akan sama saja, tidak akan ada perubahan kwalitas siswa,'' katanya dalam diskusi yang sama.
Bagaimana mengatasinya? Ratna mengatakan, kehidupan suatu bangsa dalam era globalisasi sekarang ini memerlukan kompetensi yang tinggi. Semakin tinggi tingkat kompetensi suatu bangsa akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupannya. Indonesia, kata dia, tidak terlepas dari perkembangan dan perubahan yang terjadi tersebut.
Menurut dia, dalam perkembangan dan perubahan secara terus menerus ini, diperlukan adanya perbaikan sistem pendidikan nasional. Dalam seminar itu terungkap, Kurikulum Berbasis Kompetesi (KBK) bisa menjawab tuntutan perkembangan yang ada. Ini dianggap dapat menjadi momentum yang baik untuk mereformasi sistem pendidikan yang sesuai dengan tuntutan abad ke-21, terutama dalam menyiapkan siswa untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif, serta selalu mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar.
Ratna mengakui, KBK merupakan kurikulum yang relatif baru, hasil penyempurnaan terhadap kurikulum sebelumnya. Konsep KBK, kata dia, memang sesuai dengan tujuan untuk membangun seluruh dimensi kebutuhan manusia.
Seperti diutarakan Hermana Somantrie, penyepurnaan ini dilandasi oleh kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Antara lain, UUD 1945 dan perubahannya, Tap MPR tahun 1999 tentang GBHN, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
KKB memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. KBK juga terpusat pada anak, Maksudnya, kata dia, penyajian disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik melalui pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam rangka pencapaian usaha tersebut.
Semua pengalaman belajar dirancang secara berkesinambungan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Pendekatan yang digunakan, kata Hermana, berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Keberhasilan pencapaian belajar ini menuntut kemitraan dan tanggung jawab bersama dari peserta didik, guru, sekolah dan madrasah, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, serta masyarakat.
Selain itu, kata dia, standar kompetensi disusun oleh pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah, sekolah, dan madrasah. Standar ini, tambah dia, dapat dijadikan acuan penyusunan kurikulum berdiversifikasi berdasarkan pada satuan pendidikan, potensi daerah, peserta didik serta disesuaikan dengan taraf internasional.
Keberhasilan KBK, kata Ratna, memerlukan perubahan paradigma dari setiap penyelenggara pendidikan. Itu karena dalam pelaksanaannya perlu menerapkan metode pembelajaran terbaru yang sudah terbukti dapat meningkatkan mutu belajar dan mengajar di kelas. Seperti, metode pembelajaran student active learning, cooperative learning, inquiry-based learning, atau integrated learning.
Sebagaimana juga Herman, Ratna mengatakan, untuk meningkatkan mutu belajar mengajar, maka pelatihan guru untuk meningkatkan keefektifan konsep KBK di kelas sangat diperlukan. Dia juga menyatakan perlunya ditingkatkan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) agar sekolah lebih mempunyai wewenang mengambil keputusan. ''Keputusan tersebut dapat menyangkut optimalisasi pengelolaan sumber daya yang ada, perbaikan mutu pendidikan, dan peningkatan kompetensi guru yang bertumpu pada kerja sama dengan masyarakat,'' tuturnya.
Monday, September 17, 2007 18:05:38
Meski merupakan hasil penyempurnaan kurikulum sebelumnya, KBK dinilai sesuai dengan tujuan membangun seluruh dimensi kebutuhan manusia. Sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan kurikulum tahun 1994 dapat dikatakan gagal. Hal ini disebabkan lingkungan belajar yang tidak kondusif. Lebih dari itu, sistem tersebut tidak sesuai dengan konsep Developmentally Appropriante Practices (DAP), yaitu suatu teori-teori tentang perkembangan anak.
Adalah Ratna Megawangi, PhD yang mengungkapkan kegagalan tersebut dalam sebuah diskusi di Bandung, beberapa waktu lalu. Diskusi yang diadakan oleh Simpul Pendidikan dengan tema Pro Kontra Kurikulum 2004: Adakah Peluang bagi Pembelajaran Holistik? itu dihadiri wakil-wakil dari sekolah anggota simpul pendidikan serta para mahasiswa yang peduli pada perkembangan pendidikan. Ratna menuturkan, sistem yang salah tersebut dapat mematikan semangat belajar para siswa sehingga mereka merasa bosan dalam kelas. Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF) ini mencontohkan, sejak kelas 1 SD sampai tingkat SMA, bahkan ada yang sampai Universitas, para siswa dipaksa duduk diam mendengarkan guru, mencatat, tanpa dialog interaktif antara guru dan murid. Apalagi sejenis multilog yaitu dialog antar guru-siswa, siswa-siswa, siswa dengan dirinya sendiri untuk merenungkan dan merefleksikan mata pelajaran. Selain itu siswa juga disuruh menghafal mata pelajaran yang abstrak. ''Tidak heran kalau generasi yang dihasilkan adalah generasi yang tidak kritis, seperti robot,'' katanya.
Dia menilai, kurikulum itu terlalu berat, sehingga hanya bisa diikuti oleh sekitar 15 persen siswa terpandai saja. Adanya sistem ranking di SD, kata dia, juga membuat anak-anak merasa minder. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan mental anak tersebut. Berbeda dengan di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang, anak-anak sekolah tidak diberi nilai apa pun sampai mereka duduk di kelas tiga. Penerapan kurikulum tersebut, menurut dia, mungkin menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka putus sekolah. Mengutip data Bappenas, dari 15 juta anak sekolah yang masuk kelas 1 SD, hanya separuhnya yang mencapai kelas 6 SD. Selain itu, Ratna menambahkan, kegagalan sistem pendidikan kita karena tidak sesuai dengan konsep pendidikan holistik, yaitu konsep yang melibatkan dan mengembangkan seluruh aspek potensi manusia secara holistik.
Dengan kata lain, proses pendidikan harus mampu membentuk manusia secara utuh yang cakap dalam menghadapi dunia yang penuh tantangan dan cepat berubah. Juga mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan.
Berbeda dengan Ratna, Kepala Bidang Moral, Agama, dan Ilmu-ilmu Sosial Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas, Dr Hermana Somantrie MA melihat, kesalahan pendidikan bukan hanya pada sistem kurikulum yang dipakai. Ada faktor lain, yakni kualitas guru yang ada. ''Selama guru belum kompeten, kurikulum manapun yang digunakan akan sama saja, tidak akan ada perubahan kwalitas siswa,'' katanya dalam diskusi yang sama.
Bagaimana mengatasinya? Ratna mengatakan, kehidupan suatu bangsa dalam era globalisasi sekarang ini memerlukan kompetensi yang tinggi. Semakin tinggi tingkat kompetensi suatu bangsa akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupannya. Indonesia, kata dia, tidak terlepas dari perkembangan dan perubahan yang terjadi tersebut.
Menurut dia, dalam perkembangan dan perubahan secara terus menerus ini, diperlukan adanya perbaikan sistem pendidikan nasional. Dalam seminar itu terungkap, Kurikulum Berbasis Kompetesi (KBK) bisa menjawab tuntutan perkembangan yang ada. Ini dianggap dapat menjadi momentum yang baik untuk mereformasi sistem pendidikan yang sesuai dengan tuntutan abad ke-21, terutama dalam menyiapkan siswa untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang cepat berubah, kreatif, serta selalu mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar.
Ratna mengakui, KBK merupakan kurikulum yang relatif baru, hasil penyempurnaan terhadap kurikulum sebelumnya. Konsep KBK, kata dia, memang sesuai dengan tujuan untuk membangun seluruh dimensi kebutuhan manusia.
Seperti diutarakan Hermana Somantrie, penyepurnaan ini dilandasi oleh kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Antara lain, UUD 1945 dan perubahannya, Tap MPR tahun 1999 tentang GBHN, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta PP No 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
KKB memberdayakan semua peserta didik secara demokratis dan berkeadilan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. KBK juga terpusat pada anak, Maksudnya, kata dia, penyajian disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan peserta didik melalui pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam rangka pencapaian usaha tersebut.
Semua pengalaman belajar dirancang secara berkesinambungan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Pendekatan yang digunakan, kata Hermana, berfokus pada kebutuhan peserta didik yang bervariasi dan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu. Keberhasilan pencapaian belajar ini menuntut kemitraan dan tanggung jawab bersama dari peserta didik, guru, sekolah dan madrasah, orang tua, perguruan tinggi, dunia usaha dan industri, serta masyarakat.
Selain itu, kata dia, standar kompetensi disusun oleh pusat dan cara pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah, sekolah, dan madrasah. Standar ini, tambah dia, dapat dijadikan acuan penyusunan kurikulum berdiversifikasi berdasarkan pada satuan pendidikan, potensi daerah, peserta didik serta disesuaikan dengan taraf internasional.
Keberhasilan KBK, kata Ratna, memerlukan perubahan paradigma dari setiap penyelenggara pendidikan. Itu karena dalam pelaksanaannya perlu menerapkan metode pembelajaran terbaru yang sudah terbukti dapat meningkatkan mutu belajar dan mengajar di kelas. Seperti, metode pembelajaran student active learning, cooperative learning, inquiry-based learning, atau integrated learning.
Sebagaimana juga Herman, Ratna mengatakan, untuk meningkatkan mutu belajar mengajar, maka pelatihan guru untuk meningkatkan keefektifan konsep KBK di kelas sangat diperlukan. Dia juga menyatakan perlunya ditingkatkan program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) agar sekolah lebih mempunyai wewenang mengambil keputusan. ''Keputusan tersebut dapat menyangkut optimalisasi pengelolaan sumber daya yang ada, perbaikan mutu pendidikan, dan peningkatan kompetensi guru yang bertumpu pada kerja sama dengan masyarakat,'' tuturnya.
Sumber : Republika (11 Juni 2004)
No comments:
Post a Comment