Sidang Gugatan atas Kebijakan UN 2006 Terus Berlanjut
Jakarta, Kompas - Penilaian untuk menentukan kelulusan siswa dalam rapat dewan guru kini sangat bergantung pada hasil ujian nasional alias UN dan ujian dari sekolah secara terpisah. Guru tidak berani bersikap fleksibel dalam membuat penilaian kelulusan.
Demikian terungkap dalam sidang gugatan warga negara (citizen lawsuit) terhadap pemerintah terkait kebijakan UN 2006 yang terus berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (1/3). Gugatan disampaikan oleh 58 orang yang mewakili berbagai komponen masyarakat. Gugatan itu diajukan terhadap negara atau pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan (mantan) Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suhendro.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Adriani Nurdin, kemarin, pihak tergugat menghadirkan empat saksi. Mereka adalah anggota tim pengawas independen dari Bandung; Kepala SMP Negeri 1 Sampit, Kalimantan; anggota Kepolisian Resor Bogor yang ikut dalam pengamanan naskah ujian; serta orangtua mantan murid SMP Negeri 1 Sampit.
Kepala SMP Negeri 1 Nurilah Hamidan mengungkapkan, UN tidak menjadi satu-satunya tolok ukur dalam kelulusan. “Sesuai ketentuan, siswa baru dinyatakan lulus bila memenuhi syarat kelulusan ujian nasional dan ujian dari sekolah. Kelulusan ditentukan setelah rapat dewan guru. Sesuai ketentuan, kalau ujian dari sekolah tidak memenuhi syarat, maka tidak lulus juga,” katanya.
Di sekolah yang ia pimpin, dari 206 peserta UN tahun lalu, 47 orang tidak lulus. Sebanyak 35 orang tidak lulus karena nilai UN dari pusat, sedangkan 12 orang karena nilai ujian dari sekolah yang tidak memadai.
Mengikuti ketentuan
Ketika hakim Adriani Nurdin menanyakan apakah kelakuan baik serta prestasi siswa selama di sekolah diperhitungkan atau ada kebijaksanaan lain, Nurilah menjawab, “Guru tidak berani fleksibel dan tetap ikut kriteria dan peraturan yang ada. Walau coba menanyakan ke dinas pendidikan harus bagaimana, tapi sudah ada ketentuan.”
Saat ditanya apakah ada perdebatan dalam rapat dewan guru tersebut, dia mengatakan, sekolah dan guru sudah komitmen untuk mengikuti ketentuan dan prosedur dari pemerintah. Bahwa, kelulusan hanya memperhitungkan syarat standar kelulusan UN dan ujian akhir sekolah.
Hingga sekarang, kesedihan akibat ketidaklulusan ujian masih dirasakan Mahfud, saksi yang anaknya tidak lulus tahun lalu. Mahfud khusus didatangkan dari Kalimantan ke Jakarta untuk kepentingan persidangan. Anak Mahfud melanjutkan bersekolah dengan mengandalkan ujian program Paket B (setara SMP). “Sekarang saya takut-takuti dia supaya sungguh-sungguh belajar. Kalau tidak lulus lagi, mending tidak usah sekolah,” ujarnya.
Gatot selaku Koordinator Tim Advokasi Korban Ujian Nasional menilai, sistem yang diterapkan pemerintah telah membuat sekolah bertindak kaku dalam menentukan kelulusan. Penilaian hanya mengacu pada hasil UN dan ujian sekolah. Pertimbangan untuk kelulusan tidak secara utuh, yakni dengan mengakumulasikan seluruh nilai hasil belajar siswa dan prestasinya selama tiga tahun menuntut ilmu.
Dalam persidangan diungkapkan juga bahwa pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan UN telah mengikuti prosedur yang berlaku. Anggota Kepolisian Resor Bogor, Kuat S, juga menegaskan tidak ada kejadian yang mengancam atau mengakibatkan kebocoran naskah UN selama dia bertugas. Jalannya naskah ujian itu mulai dari provinsi sampai rayon dikawal ketat oleh petugas kepolisian. (INE)
Sumber: KOMPAS, jumat, 02 Maret 2007http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/02/humaniora/3357463.htm


No comments:
Post a Comment